Masihkah Aku Di Dalam Hatimu? |
Masihkah Aku Di Dalam Hatimu? Kutulis catatan ini, ketika berpuluh sms yang kukirim, terhantam dinding bernama PENDING. Tidak ada yang harus kukeluhkan dengan bobroknya kinerja layanan jasa telekomunikasi di negri ini.
Memang akan seperti itu dan selalu seperti itu (bobrok) karena kepuasan konsumen selalu dijadikan tolak ukur keberhasilan nomor ke sekian. Tolak ukur keberhasilan bisnin jasa telekomunikasi selalu saja berbicara tentang, kuantitas konsumen dan market yang mereka kuasai. Kuantitas menjadi acuan, bukan kualitas.
Maka, merutuk seperti apapun, kualitas jasa telekomunikasi di negri ini akan tetap bobrok. Entah sampai kapan?
Aku tidak dapat menerka ujung dari kebobrokan ini, sebagaimana aku tidak pernah mengetahui dengan pasti di mana dan kapan terka-ku tentangmu akan berahir.
Diam-diam aku masih menyimpan banyak terka tentang hari-harimu yang kini seolah beruju di ujung dunia terjauh yang tersembunyi, terbatas tujuh lapis langit. Usiaku mungkin akan pernah cukup untuk mencarimu, tubuhku semakin membatubeku, tak ada getar, tak ada riak. Hanya diam dalam gelombang-gelombang Tanya yang bergantian menyeret-nyeretku dari satu buih ke buih yang lain dan berkali-kali remuk dalam ketegaran karang yang berdeduri tajam.
Ketika senja turun pada huruf vocal yang ke sekian, aku menjadi nuansa merah. Kemudian berubah menjadi ungu, kemudian menjadi hitam malam. Aku berubah sangat cepat, secepat senja itu beringsut dari zenith gedung-gedung, lalu celup ke dalam tembok kota-kota.
Ketika hari telah benar-benar malam, tidak ada satupun bayang. Kamu tau kenapa? Karena gelap malam adalah bayangan dirimu sendiri yang masih rapat mengepung.
Aku hanya…
Memendam tanya. Masihkah aku di dalam hatimu*?